Pembukaan Bimtek RENSTRA untuk Bappeda Kabupaten Paser
Penyusunan Rencana Strategis dan desain Rencana Pembangunan Jangka Menengah maupun Jangka Panjang di daerah-daerah perlu dimengerti sebagai usaha kontinu mendamaikan gerak dan visi politis dan teknokratis. “Ada ranah holistik yang harus diperhatikan sebagai sebuah keutuhan yang semestinya diapresiasi secara menyeluruh pula oleh semua yang bekerja dan mengabdi di Bappeda. Semua daerah membutuhkan siklus yang sinergis antara tujuan-tujuan pembangunan yang disusun mulai dari pusat hingga daerah. Terkadang birokrat di Bappeda terjebak dalam visi ambisius yang datang dari ranah politik dan kepemimpinan, yang berusaha dengan cara-cara misterius yang semuanya tentu berakhir dengan hasil yang merisaukan. Hal ini yang perlu dihindari. Penyusunan RPJP-D, RPJM-D, Renstra dan RKP-D harus menggunakan pola holistik yang tentunya tetap melihat simpul-simpul sinergis mulai dari renstra masing-masing SKPD, rencana masing-masing SKPD, rencana lembaga-lembaga hingga relasi pusat-provinsi dan kabupaten,” demikian kata Wakil Ketua PPKK Fisipol UGM, Gabriel Lele dalam sesi pertama Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) yang fokus pada Bimbingan Teknis Penyusunan Rencana Strategis, RPJPD, RPJMD, RKPD dengan Bappeda Kabupaten Paser di Hotel Gowongan Inn, Yogyakarta (Rabu, 8 April 2015).
Acara yang dibuka oleh Dekan Fisipol UGM, Erwan Agus Purwanto ini dihadiri oleh semua perangkat dan fungsi yang mengabdi di Bappeda Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Dalam sambutannya Erwan menegaskan posisi dan keberpihakan aparatus khususnya dalam mematangkan perencanaan dan menjaga konsistensinya dalam pembangunan dan kemajuan suatu daerah. “Diperlukan perencanaan yang matang dalam menanggapi kompleksitas persoalan yang kian berkembang di tengah masyarakat saat ini. Kebutuhan masyarakat dengan karakteristik urban yang terus meningkat dari waktu ke waktu membutuhkan keberpihakan dan kerja ekstra semua abdi masyarakat. Masalah publik akan semakin meluas dan berkembang seiring pertumbuhan wilayah-wilayah urban, semakin majemuknya problem publik dan munculnya berbagai persoalan,” kata Erwan.
Erwan juga menjelaskan bahwa untuk mengantisipasi semua itu perlu ada spirit optimis yang dibangun dari waktu ke waktu. Salah satu kanal ke arah itu adalah ditajamkannya perencanaan yang matang, penelusuran peluang dan sudut-sudut yang memungkinkan kemajuan dan perkembangan bisa terjamin. Salah satu contoh adalah dengan menguatkan posisi pertumbuhan penduduk sebagai salah satu modal utama dalam melihat peluang pasar di level daerah. Masyarakat harus dilihat sebagai potensi dan keunggulan, khususnya dalam menyambut MEA.
“Tentunya hal ini harus dikaitkan dengan beberapa persoalan lain seperti kemampuan perencanaan khususnya di sektor teknis, penganggaran publik, hingga keterbatasan SDM. Beberapa wilayah terbatas SDM-nya dari segi jumlah dan keahlian. Tantangan lain adalah kendala waktu yang cenderung menjadikan kerja rezim perencanaan terkadang tidak efektif dan memuaskan,” jelasnya.
Acara pembukaan yang disusul pemaparan sesi pertama ini diisi oleh Gabriel Lele yang membedah siklus perencanaan dan penganggaran, sinergi RPJPD, RPJMD, Renstra dan RKPD. Kekuatan regulasi di daerah harus bisa menjamin matangnya rencana bahkan menurut Gabriel kerja teknokratis dalam RPJMD harus bisa menyentuh pagu-pagu indikatif anggaran.
“Akan lebih mudah bagi Bappeda untuk bekerja keras untuk hasil yang hanya dikawal selama lima tahun, ketimbang kerja ekstra keras setiap tahunnya. Sirkulasi anggaran yang terkadang ‘diserobot’ oleh politisi di beberapa level, harus bisa diantisipasi dengan pendekatan-pendekatan teknokratis yang juga harus bisa menggandeng anggota legislatif dari suatu daerah pemilihan (dapil) ketika perencanaan yang paling dasar dimulai. Ketika mereka (para anggota legislatif) diajak dari level yang paling dasar, mereka diajak juga untuk mengawal dan tidak bisa seenaknya memutuskan kerja teknokratis di level-level selanjutnya,” jelasnya.
Mengutip treadmill syndrome, Gabriel juga menjelaskan bahwa visi-visi politis para pemimpin maupun calon pemimpin harus bisa mendukung perencanaan pembangunan lima tahunan atau dua puluh tahunan yang sudah disusun. “Jika tidak ada dialektika di bagian ini, para pemimpin cenderung berkeringat untuk sesuatu yang stagnan dan mengakui bahwa ia telah melampaui tujuang-tujuan pembangunan dengan baik. Padahal semuanya hanya sekadar usaha keras untuk jalan di tempat,” pungkas Gabriel.
Arie Ruhyanto, dosen dan peneliti Fisipol UGM pada bagian kedua mencoba mengelaborasi RPJMD Kabupaten Paser dengan mengetengahkan hasil review RPJMD Kabupaten di Selatan Tenggara Provinsi Kalimantan Timur ini. Menurutnya secara umum RPJMD Paser 2011-2015 sudah tidak memiliki problem serius. Hanya untuk beberapa bagiannya perlu semangat kritis dan kerja ekstra Bappeda sebagai instansi yang memiliki kekuatan di bidang perencanaan.
“Diperlukan semangat dan ketelitian, khususnya dalam mengkonversi visi-misi politik menjadi indikator-indikator yang bisa didayagunakan di level praktis. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan menjadi tugas penyelenggara pemerintahan berdasarkan hasil review, khususnya posisi Paser sebagai salah satu Kabupaten Konservasi,” kata Arie.
Kepala Sub Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Bappeda Paser, Abdul Kadir pada kesempatan tersebut mengatakan bahwa perlu ada keseriusan internal dari Bappeda Paser sendiri khususnya dalam meningkatkan kapasitas birokrat dalam desain-desain perrencanaan yang sinergis. “Tentunya Paser sendiri sudah memiliki potensi dan sumber daya untuk itu. Namun, perkembangan dan regulasi-regulasi terkini tentunya membutuhkan banyak penyesuaian. Dan saya berharap apa yang dibagikan oleh begitu banyak ahli dan pakar pada kesempatan ini bisa menjadi acuan untuk memantapkan perkembangan dan kemajuan Paser,” katanya.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!